Fenomena 2012
Mengumpulkan Bintik Hitam Matahari
Irwan Nugroho - detikNews
Sumedang - Seorang petugas Stasiun Pengamatan Dirgantara (SPD) Tandjungsari, Sumedang, Jawa Barat, menunjukkan selembar kertas karton putih yang diberi titik-titik hitam. Titik mirip noda itu merupakan bintik matahari yang diproyeksikan oleh teropong Celestron 8 mm.
"Bila ada bintik matahari yang muncul di bidang kertas ini, kemudian ditandai. Jadi kita tidak mengamati lewat teropong langsung dengan mata," jelas petugas itu saat berada di salah satu kubah teropong SPD milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Dari SPD yang didirikan pada 1975 tersebut, perilaku matahari terus dipantau. Ada kalanya bintik matahari atau sunspot muncul banyak dalam satu hari. Namun, sering pula sunspot itu tidak terjadi sama sekali. Sunspot terbentuk dari medan magnet di matahari, yang berpotensi menimbulkan ledakan (flare) dan badai matahari.
Fenomena badai matahari itulah yang ramai dibicarakan menyusul ramalan kiamat pada 2012 dan film mengenai bencana besar di bumi berjudul "2012". Menurut para peneliti Lapan, badai matahari memang diperkirakan terjadi pada tahun itu, namun tidak akan menimbulan efek seperti yang digambarkan oleh film garapan Rolland Emerich.
Mereka mengatakan perkiraan waktu datangnya badai itu belakangan berubah, karena hingga kini sunspot dalam jumlah besar belum muncul. Pada Kamis (11/12), sekitar pukul 15.00 WIB, mendung sedang menutup langit Sumedang, sehingga pengamatan terkendala. Namun sebelumnya, saat sinar sang surya tak terhalang apapun, beberapa bintik matahari terpantul pada bidang kertas yang diberi lingkaran itu.
"Datanya dikirim ke Bandung untuk diolah," kata petugas itu merujuk kantor Lapan yang berada di Bandung.
Sesungguhnya pengamatan matahari di SPD Tandjungsari tidak hanya dilakukan
dengan teropong Celestron buatan Australia itu saja. Banyak alat-alat lain yang dipasang di area seluas lapangan sepakbola itu untuk mendeteksi gejala-gejala matahari.
Sebut saja misalnya Solar Radio Spectograph. Peralatan mirip parabola ini untuk mendeteksi matahari berdasarkan gelombang radiomagnetik yang dipancarkan matahari. Setiap ada ledakan atau angin di matahari, alat ini dapat menangkap fenomena antariksa itu dalam waktu 8 menit saja.
"Alat ini arah gerakannya mengikuti pergerakan matahari," kata Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan Clara Y Yatini.
Clara menjelaskan, ada dua Solar Radio Spectograph yang dipunyai SPD
Tandjungsari. Band anthena C/D dengan kekuatan 18 MHz, dan satu lagi Band
Anthena B berkekuatan 57 MHz.
Berbeda dengan teropong Celestron, Solar Radio Spectograph dapat dioperasikan meski cuaca sedang buruk. Namun, tentu saja, bila malam hari, alat ini tidak digunakan untuk memantau perubahan matahari.
"Tapi kita sudah bekerjasama dengan stasiun pengamatan internasional," kata Clara.
Di sebelah Solar Radio Spectograph terdapat alat bernama Ionozonda. Ionozonda itu difungsikan untuk menganalisa badai ionosfer. Kemudian ada sekumpulan alat-alat yang pasang di area bernama "Taman Meteor". Di antaranya adalah Champbel Stokes layaknya bola kristal untuk mengukur berapa jam matahari bersinar tiap tahun. Kemudian sensor NO2 dan SO2 untuk mengukur curah hujan.
Di bagian kanan kubah teropong Celestron ada pula kubah teropong NGT. Teropong ini dipakai untuk pengamatan bintang pada malam hari.
Apakah pengunjung bisa mencoba mengintip matahari di sana? Tenang saja, SPD
Tandjungsari menyediakan satu teropong yang dikhususkan buat pengunjung, yakni Celestron Nextstar. Teropong yang berdekatan dengan pagar "Taman Meteor" itu satu generasi lebih tinggi dibanding Celestron.
"Banyak pengunjung yang datang ke ini. Biasanya anak-anak sekolah," kata seorang petugas SPD.
(irw/fay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar