BOGOR, KOMPAS.com - Fenomena anomali iklim seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang semakin sering terjadi dengan kondisi musim semakin ekstrem dengan durasi kian panjang dipastikan mengacaukan produksi pertanian terutama tanaman pangan. Pasalnya, umur tanaman pangan lebih pendek dibandingkan tanaman tahunan seperti perkebunan. Akibatnya, petani akan merugi karena mengalami kegagalan panen terutama petani yang berada di daerah dengan tipe curah hujan monsual (daerah yang memiliki satu puncak hujan).
Demikian dikemukakan Prof Dr Yonny Koesmaryono ketika menyampaikan Orasi Ilmiah bertema “Optimalisasi Pengolahan Potensi Iklim untuk Mendukung Kemandirian Pangan dalam Menghadapi Variabilitas dan Perubahan Iklim Global” dalam upacara pengukuhan tiga guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Sabtu (10/10), di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Bersama Yonny, Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto (Rektor IPB) dengan judul Orasi Ilmiah “Inovasi Teknologi Rumah Tanaman dan Hidroponik untuk Iklim Tropika Basah dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Hortikultura” dan Prof Dr Ir Hermanto Siregar (Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Pengembangan) dengan judul “Kebijakan Makro Ekonomi Berbasis Mikro” juga dikukuhkan sebagai guru besar IPB.
“Ahli agrometeorologi diharapkan dapat memprediksi jumlah hujan bulanan dan penentuan awal musim hujan yang akan bermanfaat bagi petani untuk meningkatkan hasil panennya,” kata Yonny yang menekuni bidang agrometeorologi dan menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB itu.
Selain itu, potensi iklim di Indonesia juga seharusnya dapat dipetakan dengan tepat agar potensi itu bisa dikelola dengan baik. Jika potensi iklim setiap wilayah bisa diketahui, akan lebih mudah merancang strategi pengembangan produk pertanian unggulan masing-masing wilayah. Namun sampai saat ini masih ada kendala pada ketersediaan data iklim. “Data iklim dari stasiun pengamatan minim. Penyebaran geografis juga tidak terwakili. Pemerintah harus memperhatikan pengadaan peralatan di stasiun klimatologi terutama di wilayah sentra produksi pangan,” saran Yonny.
Pemerintah juga harus menyadari bahwa perubahan iklim bisa menjadi ancaman bagi kemandirian pangan Indonesia. Kajian Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2005 menunjukkan variabilitas dan perubahan iklim memengaruhi 11 persen lahan pertanian di negara-negara berkembang sehingga mengurangi produksi bahan pangan dan menurunkan produk domestik bruto (GDP) hingga 16 persen.
Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sistem pertanian, menurut Yonny, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan pola tanam yang tepat sesuai potensi iklimnya. Salah satu caranya adalah dengan pola penanaman tumpang sari dan tumpang gilir (misalnya antara padi dengan gandum) yang bisa mengurangi resiko kegagalan panen per satuan lahan bahkan meningkatkan penghasilan petani.
Konversi lahan
Hermanto dalam orasi ilmiahnya juga mengingatkan pentingnya ketahanan pangan karena pangan bukan sekadar kebutuhan pokok tetapi merupakan hak asasi. Perubahan iklim yang terjadi menciptakan ketidakpastian produksi pangan sehingga memicu kenaikan harga pangan. Perubahan iklim juga menyebabkan produktivitas pertanian menurun sementara stok pangan cenderung tetap bahkan berkurang. “Ini yang menyebabkan tingginya harga produk pertanian terutama harga pangan,” ujarnya.
Salah satu ancaman nyata terhadap ketahanan pangan, menurut Hermanto, adalah semakin tingginya konversi lahan pertanian ke nonpertanian terutama di kawasan pedesaan yang relatif dekat dengan perkotaan. Untuk mencegah konversi, pemerintah daerah perlu mengembangkan atau setidaknya mempertahankan lahan usaha tani tanaman pangan. Selain itu petani juga harus dibantu untuk memperoleh sertifikasi lahan pertanian dengan memberi label “pertanian” pada lahan agar tidak dikonversi. (LUK)
LUK
Editor: wsn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar