WiMax 802.16e, Dipaksakan atau Suatu Kebutuhan?
Ardhi Suryadhi - detikinet
ilustrasi (ist)
Jakarta - Pemerintah dan pihak industri penyedia perangkat WiMax sepertinya masih belum menemui kata sepakat mengenai standar perangkat yang akan digunakan di layanan wireless yang bermain di frekuensi 2,3 GHz itu.
Sejumlah produsen perangkat lokal keukeuhmendorong penggunaan peralatan standar WiMax 802.16e. Sementara pemerintah tetap bertahan dengan kebijakannya dan hanya 'merestui' eksistensi perangkat 802.16d untuk digunakan industri.
Direktur Standarisasi Postel Azhar Hasyim menuturkan, pemerintah sebelumnya telah mengundang serta melakukan urun rembuk dengan para produsen perangkat ketika ingin menetapkan standar yang digunakan.
"Makanya saat itu kita putuskan untuk menggunakan yang seri 'd' karena dari mereka juga sudah menyetujui," ujarnya kepada beberapa wartawan di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (10/12/2009).
Alhasil setelah itu, lanjut Azhar, sejumlah riset pun dilakukan dan menyerap gelontoran dana yang tidak sedikit. "Ini sudah kita persiapkan sejak 2007 lalu," tukasnya.
Hanya saja, keadaan menjadi ruwet ketika sejumlah produsen ingin langsung 'loncat' dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih yang mengusung WiMax 802.16e. Bahkan mereka sudah menandatangani piagam kesiapan yang diisi oleh 2 asosiasi dan 8 perusahaan. Alasan yang pro teknologi ini beragam, mulai dianggap unggul dari sisi teknologi hingga sudah menjadi standar global.
Sylvia Sumarlin, Ketua WiMax Forum cabang Indonesia misalnya. Ia berpendapat bahwa seri 'e' saat ini sudah menjadi standar global dan sudah diproduksi massal. "Jadi kalau ingin mendapatkan support ketersediaan perangkat menjadi lebih mudah. Don't wait until it's gone," tukasnya.
Sementara Ketua Masyaralat Telematika, Setyanto Santosa lebih menyoroti soal interoperability yang dianggap menjadi lebih mudah ketimbang seri terdahulu.
Dipaksakan?
Menanggapi keinginan kuat dari para vendor perangkat ini, pengamat telematika Arnold Djiwatampu berpendapat, sebaiknya para vendor mengingat kembali kesepakatan awal mereka dengan pemerintah yang sudah lebih dulu menyutujui penggunaan seri 'd'.
"Ingat, kita sudah sepakat untuk memulai dengan apa yang kita kuasai dan yang kita
butuhkan," tukasnya.
Sebab, lanjut Arnold, jika melompat kelewat tinggi, maka para pemain di industri ini yang bisa mengikuti hanya sedikit. Ujung-ujungnya, harga yang ditawarkan kepada penyedia layanan menjadi lebih mahal.
"Sodoran teknologi dari luar harus pandai-pandai dilihat. Karena ini untuk akses rakyat, bukan cuma ngomong 1-2 juta penduduk, tapi ratusan juta," tegasnya.
Sementara Michael Sunggiardi, pengamat telematika lainnya menganggap, penggalangan dukungan dengan aksi penandatanganan kesiapan dari para produsen perangkat tak cukup ampuh untuk mengubah pendirian pemerintah.
"Pemerintah kan sudah mengeluarkan investasi. Jadi, mereka juga ingin pulang modal dulu dong. Meski demikian, kalau soal lompat-lompat teknologi itu sudah biasa karena kita harus evolusi," menurut pria yang biasa disapa Opah ini.
Ditjen Standarisasi Postel sendiri saat ini sudah memberikan sertifikasi perangkat WiMax 802.16d kepada PT Harrif dan TRG. Dua perusahaan lainnya masih dalam proses pengujian.
Azhar mengaku masih belum mengetahui apakah para perusahaan yang pro seri 'e' sudah melakukan uji coba atau belum sebagai bentuk kesiapan mereka.
"Saya belum tahu mereka sudah pakai riset atau belum. Yang pasti, kita saja perlu riset sampai dua tahun," tandasnya. ( ash / faw )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar