JAKARTA, KOMPAS.com — Pada 2006 Indonesia dituduh menjadi negara ketiga terbesar pencemar CO di atmosfer sehingga dituding sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim global. Untuk mengetahui emisi GRK, terutama konsentrasi CO di atmosfer, pada 2006 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional terlibat dalam penelitian.
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan merintis pembuatan instrumentasi sistem sampling untuk meneliti konsentrasi CO secara horizontal dan vertikal. Uji coba vertikal dilakukan di Bandung, Jawa Barat, dan Watukosek, Jawa Timur, pada 2006.
Penelitian dari Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan, konsentrasi CO tahun 2004 sebesar 378 ppm dan akan meningkat menjadi 714 ppm.
”Hasil analisis data lapangan menunjukkan, CO tidak berpengaruh signifikan pada pemanasan global. Analisis data menunjukkan, konsentrasi sekitar 400 ppm,” ujar Chunaeni Latief, Msc (61), yang dikukuhkan sebagai profesor riset di bidang optoelektronika dan aplikasi laser.
Untuk melakukan penelitian itu, Chunaeni merancang bangun instrumen pemantau CO. Instrumen terdiri atas sistem ruas atas atmosfer dan sistem ruas Bumi sebagai penerima. Sistem ruas atas atmosfer atau gondola berbasis sensor Vaisala sebagai sensor CO terdiri atas sensor pengukur parameter atmosfer sistem, kontrol, dan pengirim data digital. Sistem ruas Bumi memproses pengukuran di atmosfer.
Uji coba menunjukkan, instrumentasi ini dapat digunakan untuk penelitian horizontal jarak jauh parameter atmosfer lainnya dengan menyempurnakan sensornya dan menggunakan balon udara. Penelitian CO membuka peluang penelitian fenomena konveksi dan fenomena pendinginan di atmosfer atas akibat munculnya lapisan CO.
Matahari berperan
Kecenderungan terjadinya perubahan iklim global dewasa ini tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas manusia, tetapi juga dipengaruhi aktivitas siklus Matahari. Dua faktor ini kini berjalan simultan.
Demikian disampaikan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan Thomas Djamaluddin dalam acara Pers Tour di Kantor Lapan Bandung, kemarin.
”Data empiris banyak yang menunjukkan, aktivitas Matahari, faktor kosmogenik, punya pengaruh kepada iklim. Mekanismenya masih menjadi perdebatan,” tutur profesor riset di bidang astronomi-astrofisik LIPI ini.
Beberapa data menunjukkan adanya korelasi iklim dengan siklus Matahari. ”Ada pergeseran tekanan angin di daerah Pasifik yang terkait langsung dengan akivitas maksimum dan minimum Matahari. Sinar kosmik saat aktivitas Matahari minimum berpengaruh pada kondensasi awan,” tuturnya. (YUN/JON)
Editor: wsnSumber : Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar