JAKARTA, KOMPAS.com — Betapa banyak rumah masyarakat yang rusak akibat gempa. Menilik musibah gempa Tasikmalaya pada 2 September 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan, 67.760 rumah rusak berat dan 150.839 rumah rusak ringan hanya di beberapa wilayah Jawa Barat.
Hengki Wibowo Ashadi, pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kamis (10/9), mengatakan, membangun rumah tahan gempa tidak rumit, hanya menuntut pembentukan detail yang tepat di bagian-bagian tertentu.
”Membangun rumah tahan gempa tidak pula mahal. Pemilihan material bisa dimulai dari pemanfaatan reruntuhan batu bata bekas hingga penggunaan material ringan, seperti papan gabus untuk lapisan bagian dalam dinding dengan permukaannya dilapisi beton tipis,” kata Hengki, Kamis (10/9) di ruang kerjanya di Jakarta.
Hengki mengatakan, sebagian besar korban tewas akibat gempa adalah korban yang tertimpa bangunan. Untuk mengurangi risiko tersebut pada masa-masa mendatang, masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa patut mempertimbangkan metode-metode pembangunan rumah tahan gempa.
Berkaca dari gempa Tasikmalaya, sesuai laporan terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat 80 orang tewas dan 47 orang dinyatakan hilang. Kemudian sebanyak 1.142 orang terluka. Ini sangat tragis. Andai saja bangunan rumah mereka tahan gempa.
Dari jumlah ribuan rumah penduduk yang rusak akibat gempa, ternyata masih ada data tambahan 1.193 unit bangunan sekolah rusak berat dan 1.664 unit sekolah rusak ringan. Ini menunjukkan, kalangan dunia pendidikan pun masih abai terhadap bangunan tahan gempa.
Sengkang yang benar
Hengki menuturkan, membuat rumah tahan gempa dengan bentuk yang lazim dibuat penduduk seperti sekarang itu mudah dan murah. Kuncinya pada detail penempatan dan pembuatan sengkang (ring pada balok) yang harus benar.
”Saya pernah menyurvei toko-toko bangunan yang menjual kerangka besi untuk balok-balok beton. Rata-rata penempatan posisi sengkang salah semua,” kata Hengki.
Posisi sengkang yang benar bertujuan supaya rumah yang dibangun nantinya tahan gempa. Sengkang yang benar mencermati kerapatan posisi sengkang di ujung-ujung setiap balok beton. Sengkang pada kedua ujung balok itu harus rapat.
Jarak kerapatan sengkang satu sama lain bisa sekitar 5 sentimeter. Namun, patokan yang benar, batu untuk campuran beton yang dipergunakan harus tak bisa lolos. Kalau ukuran kerikil batu sekitar 2 sentimeter, mau tak mau kerapatan sengkang tak lebih dari 2 sentimeter.
Untuk ketinggian rangkaian, posisi sengkang yang rapat itu ditetapkan dua kali lebar balok yang ingin dibentuk. Kalau lebar balok 20 sentimeter, rangkaian sengkang yang merapat di kedua ujung balok tersebut panjangnya harus 40 sentimeter.
”Posisi sengkang yang merapat di kedua ujung balok menjadi penahan gerakan gempa. Bentuk detail sengkang pada ujung balok beton ini yang paling penting, tetapi masih banyak diabaikan,” kata Hengki.
Berdasarkan survei ke toko-toko bangunan yang menjual sengkang, menurut Hengki, bentuk sengkang yang dijual di toko-toko bangunan itu rata-rata salah. ”Ujung besi sengkang yang salah itu posisinya tak dibelokkan ke tengah-tengah diagonal sengkang,” kata Hengki.
Ujung besi sengkang yang dibelokkan ke tengah diagonal berfungsi memberi kekuatan yang lebih untuk menahan gaya gempa.
Terkait dengan penguatan struktur tulang lainnya yang sering diabaikan masyarakat, lanjut Hengki, yaitu tidak ada penjangkaran pada sambungan balok beton vertikal dengan horizontal.
Penjangkaran atau pembelokan ujung besi balok horizontal ke bawah menempel besi balok vertikal itu memiliki rumus panjang 20 kali diameter besi yang digunakan. Kalau besi yang digunakan berdiameter 10 milimeter, penjangkarannya cukup dengan 200 milimeter.
Balok beton fleksibel
Metode lain membuat rumah tahan gempa adalah dengan pembentukan balok beton fleksibel. Balok beton fleksibel tidak menyatu dengan lapisan dinding, tetapi hanya dihubungkan dengan pelat baja.
”Ketika terjadi gempa, struktur balok beton fleksibel itu dibebaskan bergerak. Namun, lapisan dinding dipertahankan tidak bergerak supaya terhindar dari keretakan,” kata Hengki.
Pada prinsipnya, bangunan atau rumah tahan gempa itu menggunakan material yang ringan, tetapi kuat. Logikanya, ketika terpaksa harus runtuh akibat gempa, struktur bangunan dari material ringan itu tidak akan sampai mematikan.
”Di sinilah letak penting untuk kembali menengok cara-cara tradisional kita dalam mendirikan bangunan atau rumah dengan kayu dan bambu. Kemudian, atapnya berupa ijuk, dan sebagainya,” kata Hengki.
Pemilihan material seperti kayu dan bambu memenuhi unsur ringan dan kuat, seperti pembuatan dinding dengan gedek atau rajutan bilah bambu itu jelas akan membentuk lapisan dinding yang ringan dan ramah terhadap gempa.
Untuk menempuh kembali metode tradisional tersebut, Hengki mengatakan, langkah terpenting adalah membuat material yang lebih kuat dan tahan lama, seperti melapisi bambu dengan polimer.
NAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar