Tampilkan postingan dengan label matahari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label matahari. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Desember 2010

Ilmuwan Teliti Efek Matahari pada Iklim Bumi

Ilmuwan Teliti Efek Matahari pada Iklim Bumi
LASP asal Colorado dan NASA membangun pusat penelitian khusus untuk studi tersebut.
JUM'AT, 3 DESEMBER 2010, 15:51 WIB
Muhammad Chandrataruna

VIVAnews - Boulder's Laboratory for Atmospheric and Space Physics (LASP) di University of Colorado dan Goddard Space Flight Center milik NASA di Greenbelt mengumumkan kolaborasi keduanya dalam pembangunan sebuah pusat penelitian yang akan dimanfaatkan untuk mempelajari pengaruh matahari pada iklim Bumi.

Pusat penelitian tersebut, yang diberi nama Sun-Climate Research Center (SCRC), akan dipimpin oleh ilmuwan LASP Research Peter Pilewskie dan Robert Cahalan, yang mengepalai Goddard's Climate and Radiation Branch. Keduanya ditemani Douglas Rabin, kepala Goddard's Solar Physics Laboratory.

"Hal yang menarik dari kolaborasi ini adalah bahwa kita sama-sama yakin pusat ini akan mampu mempromosikan studi yang siap menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang sistem iklim di Bumi, termasuk bagaimana atmosfer Bumi merespon variabilitas Matahari, dan bagaimana kondisi yang berubah-ubah itu mempengaruhi iklim di bumi," kata Pilewskie.

"Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting agar kita dapat mengukur dampaknya pada iklim Bumi dan manusia," tandasnya.

Didukung Perjanjian Federal Space Act Agreement, SCRC akan mendorong kolaborasi pengetahuan antara atmosfer Bumi dan ilmu matahari melalui dua institusi yang berbeda.

Kolaborasi ini mencakup program pertukaran ilmuwan antara kedua organisasi, LASP dan Goddard, termasuk pertukaran ilmu postdoctoral dan pascasarjana di bidang sains, teknik, dan misi operasi. Kerja sama ini juga termasuk simposium penelitian internasional tentang interaksi iklim matahari.

"Dalam beberapa tahun terakhir Goddard dan LASP bekerja sama untuk beberapa misi matahari dan Bumi," kata Cahalan. "Sekarang kami berharap dapat meneruskan penelitian tentang matahari dan Bumi ini, namun lebih fokus pada studi perubahan atau variabilitas pada matahari yang terjadi, lantas mencari tahu pengaruhnya terhadap iklim bumi," imbuhnya.

"Dengan bekerja sama dengan kolega-kolega kami di Goddard, kami dapat meningkatkan keterampilan dan membantu tim kami mengambil langkah penting ke arah kerja sama yang lebih besar antara pusat NASA tim-tim riset universitas terkemuka," ujar direktur LASP Daniel Baker. (umi)

• VIVAnews

Rabu, 24 November 2010

Matahari Punya Saudara Kembar?

Matahari Punya Saudara Kembar?
"Sangat menarik jika saudara kembar itu punya sistem tata surya seperti kita."
KAMIS, 25 NOVEMBER 2010, 00:08 WIB
Muhammad Firman

VIVAnews - Kelahiran Matahari sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu di dalam sebuah nebula, tampaknya juga melahirkan ribuan bintang lain. Lalu, apa yang terjadi dengan saudara-saudara Matahari? Pencarian terus dilakukan, akan tetapi saudara-saudara Matahari itu bisa berada di mana saja di galaksi Bima Sakti.

Jika jumlahnya hanya dalam bilangan ribuan, mungkin tidak terlalu sukar untuk menemukannya. Sayangnya, galaksi Bima Sakti merupakan tempat tinggal dari sekitar 100 sampai 400 miliar bintang. Jika saudara-saudara Matahari itu berkumpul di salah satu sudut galaksi, mereka sulit ditemukan. Apalagi faktanya, mereka tersebar di seluruh penjuru galaksi.

Tahun lalu, Simon Portegies Zwart, astronom Belanda menyebutkan bagaimana cara mencari saudara dekat Matahari. Ia membuat model bagaimana bintang-bintang berpencar saat mengorbit di titik tengah galaksi dan yakin bahwa antara 10 sampai 60 bintang saudara Matahari berada di jarak yang dekat dengan Bumi. Tidak sampai 330 tahun cahaya jauhnya.

Zwart menyebutkan, bintang-bintang ini memiliki usia, komposisi kimia, dan pergerakan yang sama dengan Matahari. Artinya, bintang-bintang itu juga dapat menggambarkan pada kita bagaimana sistem tata surya lahir.

Jika ada beberapa lusin saudara kembar Matahari di sekitar tata surya, menemukannya tentu tidak sulit. Akan tetapi, Yury Mishurov, astronom Russia tidak sependapat.

Menurut Mishurov, model yang dikembangkan Zwart tidak cukup cerdas untuk menelurkan hasil yang akurat karena tidak menghitung efek lengan-lengan spiral milik galaksi. Alasannya, tonjolan dari badan utama Bima Sakti ini sangat mempengaruhi pergerakan bintang-bintang akibat efek gravitasi yang luar biasa.

Menurut kalkulasi terbaru Mishurov, saudara-saudara Matahari jauh lebih tersebar di penjuru galaksi dibanding perkiraan Zwart. Diperkirakan, hanya ada 3 sampai 4 bintang yang tersisa di sekitar Matahari.

“Meski masih banyak yang harus dilakukan, akan tetapi saya cukup gembira dengan penemuan ini,” kata Mishurov, seperti dikutip dari Sciencemag, 24 November 2010.

“Ini merupakan langkah logis berikutnya, dan pada akhirnya, yang terpenting adalah apakah kita akan dapat menemukan saudara kandung Matahari kita. Adalah kesalahan besar jika kita menyerah untuk mencarinya,” ucap Mishurov.

Sayangnya, tidak seluruh astronom sepakat dengan Mishurov. Gerard Gilmore, astronom dari Cambridge, menyebutkan bahwa mencari bintang yang memiliki rupa seperti Matahari tidaklah sulit. Akan tetapi, melacak sampai ke tempat kelahirannya merupakan hal mustahil.

Walaupun penemuan saudara kandung Matahari akan memberikan dampak positif bagi ilmu pengetahuan, Gerard meragukan apakah Matahari tersebut dapat dicari. "Tentunya sangat menarik jika Matahari punya saudara kembar yang identik lengkap dengan sistem planet-planet yang serupa dengan tata surya kita, di mana ada planet yang serupa Bumi berotasi di Matahari tersebut."

• VIVAnews

Minggu, 07 November 2010

Wow! Matahari Mengeluarkan Musik

Wow! Matahari Mengeluarkan Musik
Aktivitas medan magnet di atmosfer luar Matahari menghasilkan harmoni musik.
SENIN, 21 JUNI 2010, 06:50 WIB
Elin Yunita Kristanti

VIVAnews - Sang Surya, Matahari telah menjadi inspirasi ratusan lagu. Namun, ilmuwan baru-baru ini menemukan bahwa pusat tata surya ini membuat musiknya sendiri.

Para astronom dari Universitas Sheffield telah merekam untuk kali pertamanya harmoni musik yang dihasilkan medan magnet di atmosfer luar Matahari. Meski, musik itu terdengar menakutkan.

Para pengamat langit menemukan bahwa, putaran magnetik yang menurut hasil pengamatan, melingkar menjauh dari lapisan terluar Matahari, bervibrasi seperti senar pada alat musik. Di sisi lain, mereka juga seperti gelombang suara instrumen tiup.

Menggunakan citra satelit, dari putaran magnetik Matahari bisa mencapai panjang 60.000 mil, para ilmuwan lalu mengubah getaran itu menjadi suara-suara yang bisa didengar suara manusia.

Ketua tim riset fisika Matahari Universitas Sheffield, Profesor Robertus von Fay-Siebenbürgen mengatakan, meski aneh, akan sangat menarik bahwa kita bisa mendengar suara-suara dari Matahari -- sumber tenaga terbesar di tata surya.

"Suara yang dihasilkan Matahari bisa disebut musik, karena memiliki harmoni," kata dia, seperti dimuat laman Telegraph.

"Hal ini memberikan cara baru untuk mempelajari Matahari dan memberi kita wawasan baru tentang proses fisika yang berlangsung di dalam lapisan luar matahari -- di mana suhunya mencapai jutaan derajat."

Lapisan korona Matahari sejak lama diyakini sebagai tempat pembentukan jilatan api (solar flares) yang melemparkan partikel-partikel ke luar angkasa -- yang kemudian menciptakan fenomena cuaca luar angkasa.

Ketika aktivitas Matahari serta pembentukan jilatan api meningkat, dapat menghasilkan fenomena badai Matahari yang dapat memicu bencana di Bumi.

Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA telah memberi peringatan bahwa, badai Matahari berpotensi terjadi pada 2013 -- yang bisa merusak alat-alat elektronik dan satelit buatan manusia.

Profesor Fay-Siebenbürgen mengatakan, mempelajari musik "matahari" akan memberikan cara baru dalam memahami dan memprediksi jilatan api matahari sebelum terjadi.

Lapisan koronal bergetar dari sisi ke sisi seperti petikan gitar oleh gelombang dari ledakan di permukaan matahari.

Para ilmuwan juga menemukan lapisan matahari bergetar maju-mundur seperti meniru gelombang akustik dalam instrumen angin.

Profesor Fay-Siebenbürgen mengungkapkan, Universitas Sheffield telah meluncurkan sebuah proyek baru, 'Proyek Cahaya Matahari' yang bertujuan menemukan cara-cara baru untuk memanfaatkan dan memahami kekuatan matahari.

• VIVAnews

Senin, 03 Mei 2010

Matahari Bergeser, Mei Jadi Bulan Terpanas

Matahari Bergeser, Mei Jadi Bulan Terpanas

Senin, 03 Mei 2010, 20:18 WIB

JAKARTA--Kondisi cuaca sangat panas mulai Maret dan memuncak pada Mei yang dirasakan masyarakat di khatulistiwa disebabkan saat ini matahari sedang bergeser dari selatan ke utara, kata Pakar Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin.

"Pola pemanasan berubah. Wilayah paling panas ada di sekitar khatulistiwa, di Indonesia. Angin cenderung berputar di sekitar wilayah Indonesia. Tidak ada efek pendinginan dari wilayah lain," kata Djamalluddin yang dikonfirmasi dari Jakarta, Senin.

Hal tersebut, katanya, berdampak Maret-April menjadi bulan terpanas. Menurut dia, saat pancaroba dari kemarau ke penghujan yakni pada September - Oktober pun akan menjadi bulan yang panas melebih saat kemarau seperti juga saat pancaroba dari musim penghujan ke kemarau pada Maret-Mei.

Selain itu, kondisi regional juga harus diperhatikan yang kadang memberi efek penguatan, ujarnya. Saat awal April 2010 ada efek gabungan El Nino di Pasifik, Dipole Mode di Lautan Hindia, dan siklus periodik MJO (Madden-Julian Oscillation) aktif yang bersifat menekan pembentukan awan di wilayah Indonesia, ujarnya.
"Efek gabungan itu cenderung mengurangi liputan awan di wilayah Indonesia. Akibatnya pada siang hari kita merasakan panas yang sangat terik," katanya.

Selain itu, ujarnya, ada juga dampak perubahan iklim lokal seperti perubahan tataguna lahan dan aktivitas manusia yang berdampak pada pemanasan kota misalnya pepohonan banyak ditebang berubah menjadi bangunan dan pelataran berlapis semen, maka permukaan bumi menyerap panas lebih efektif. "Panas tersebut dipancar lagi ke atas sebagai gelombang panas inframerah. Sebagai fenomena sesaat, kita bisa merasakan perbedaan panas di wilayah yang masih banyak pohonnya dan wilayah yang tanpa atau sedikit pohonnya," katanya.


Ia menambahkan, pemanasan itu bukan hanya sesaat karena ada proses lanjutannya di mana panas itu tersimpan. Sebenarnya pancaran gelombang panas itu bermanfaat menghangatkan bumi saat matahari sudah terbenam, tetapi karena bertambahnya gas karbondioksida (CO2) di udara perkotaan akibat kendaraan bermotor dan industri serta aktivitas manusia lainnya, maka lebih banyak panas yang ditahan.

"Karbon dioksida memang bersifat menyerap inframerah yang berarti menahan panas. Akibatnya kota semakin panas," katanya. Ia membantah berita yang dikirim secara berantai melalui pesan singkat mengenai matahari yang sedang pada titik terdekat dengan bumi sehingga meningkatkan suhu bumi sebesar empat derajat.

Red: taufik rachman
Sumber: antara

Jumat, 05 Maret 2010

Matahari Masih Malas-malasan, 'Kiamat' Mundur Tahun 2013

Jumat, 11/12/2009 05:43 WIB
Matahari Masih Malas-malasan, 'Kiamat' Mundur Tahun 2013
Irwan Nugroho - detikNews

Buku Lapan (Irwan/detikcom)
Bandung - Tanpa mempedulikan ramalan tentang datangnya kiamat pada tahun 2012, para ilmuwan awalnya sepakat bahwa pada tahun tersebut memang bakalan terjadi badai matahari. Namun, perkiraan itu belakangan bergeser, karena bintik hitam matahari sampai sekarang belum muncul.

Bintik hitam atau secara ilmiah dinamai sunspot adalah tanda-tanda adanya aktivitas matahari. Banyaknya sunspot yang mengandung medan magnet akan menciptakan ledakan sehingga aktivitas matahari dianggap telah mencapai puncaknya. Radiasi gelombang elektromagnetik yang disemburkan oleh ledakan itu dapat mencapai bumi yang berjarak 150 juta Km dari matahari.

Sesuai siklus 11 tahunan matahari, puncak aktivitas matahari akan sampai pada siklus ke-24 pada 2012 nanti. Karena itu, para ilmuwan memperkirakan sunspot akan mulai muncul pada 2007 lalu dan bertambah banyak pada tahun-tahun sesudahnya.

"Tapi ternyata sebagian peneliti melihat sekarang ini belum muncul bintik hitamnya itu," kata Sri Kaloka Prabotosari, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa (Pusfatsainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di kantor Lapan Bandung, Jl Djundjunan, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/12/2009).

Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan Clara Y Yatini mengatakan, sunspot terbentuk akibat kuatnya medan magnet di permukaan matahari. Tampak gelap yang telihat pada bintik hitam matahari disebabkan karena energi yang ada di sunspot itu tidak bisa dilepaskan.

Dia melanjutkan, karena kuatnya medan magnet pula, badai matahari akan berhembus dari daerah sunspot tersebut. Makin banyak bintik-bintik hitam di matahari, makin besar pula potensi terjadinya badai matahari.

"Itu proses yang terjadi di matahari dan tidak bisa dikontrol. Kalau memang waktunya meledak, ya, meledak," kata dia.

Senada dengan Sri Kalola, menurut Clara, siklus aktivitas matahari yang ke-24 semula diperkirakan lebih besar dibanding siklus sebelumnya. Akan tetapi, dengan melihat belum adanya sunspot di permukaan matahari, prediksi itu berubah.

Menurutnya, dengan melihat perilaku matahari yang seperti itu, Lapan memprediksi aktivitas matahari akan mencapai puncaknya bukan pada 2012, melainkan Mei 2013. Saat itu, ledakan-ledakan matahari, yang dikait-kaitkan orang dengan ramalan kehancuran bumi dan kiamat, akan terjadi.

"Dengan mengamati matahari terus menerus, kelihatannya matahari ini masih malas-malasan. Akhirnya para peneliti mengulang lagi prediksinya dan mengatakan siklus ke-24 ini bakalan rendah daripada siklus ke-23," tuturnya.

(irw/mad)

Rabu, 26 Agustus 2009

Pembangkit Listrik Alternatif

Bukan Mimpi, Pembangkit Listrik
di Orbit Bumi
Ilustrasi satelit Iridium di orbit Bumi. Satelit yang mengalami tabrakan dengan satelit Russia merupakan salah satu dari jaringan 65 satelit Iridium yang melayani sambungan telepon portabel untuk 300.000 pengguna di AS.

    KAMIS, 16 APRIL 2009 | 16:33 WIB

    WASHINGTON, KOMPAS.com — Sebuah perusahaan energi di AS tengah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Matahari (PLTM) yang akan ditempatkan di satelit yang mengorbit Bumi. Cara tersebut akan efektif karena pemanfaatan sinar Matahari bisa dilakukan 24 jam tak perlu tergantung cuaca dan perubahan siang malam.

    Desain pembangkit listrik berbasis satelit tersebut saat ini tengah dirancang Solaren Corp. Satelit tersebut akan membawa rangkaian sel surya yang membentang hingga beberapa kilometer dan ditempatkan di ketinggian 40.000 kilometer.

    Sel-sel surya akan mengumpulkan panas Matahari yang selanjutnya akan diubah menjadi gelombang radio. Gelombang radio tersebut lalu dipancarkan ke stasiun-stasiun penerima di permukaan Bumi. Di stasiun-stasiun tersebut, gelombang radio dikonversi lagi kali ini menjadi energi listrik yang akan dialirkan ke jaringan listrik.

    Solaren telah mendapat kontrak dari Pacific Gas & Electric (PG&E), perusahaan listrik di California untuk memasok 200 megawatt dari pembangkit tersebut yang cukup untuk 250.000 pelanggan. Jika berjalan lancar, pembangkit tersebut mulai beroperasi tahun 2016.

    Saat ini, tengah dipersiapkan pusat stasiun penerima di Fresno County, California. Wilayah tersebut cukup jauh dari permukiman sehingga tak mengganggu kesehatan manusia. Selain itu, hal itu lebih ekonomis karena lokasinya dekat dengan jaringan listrik nasional dan tak sejauh lokasi PLTM yang umumnya dibangun pada daerah terpencil di gurun.

    "Meski sistem dengan ukuran sebesar ini dan konfigurasi eksaknya belum pernah dibuat, teknologi pendukungnya sangat matang dan berbasis teknologi satelit komunikasi," ujar Gary Spirnak, CEO Solaren Corp. Ia mengatakan proyek tersebut bakal menghabiskan dana sekitar 2 miliar dollar AS.

    Pengembangan pembangkit listrik tenaga matahari juga menjadi ambisi badan antariksa Jepang (JAXA). Namun, teknologi yang dikembangkan Jepang akan memancarkan gelombang mikro ke Bumi. Jika pengujian sukses, Jepang akan meluncurkan sejumlah satelit pendukung untuk memproduksi listrik yang cukup untuk 500.000 rumah tangga.


    WAH
    Sumber : PHYSORG

    http://sains.kompas.com/read/xml/2009/04/16/16330023/bukan.mimpi.pembangkit.listrik.di.orbit.bumi