Tampilkan postingan dengan label global warming. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label global warming. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Maret 2010

Global Warming Tak Terkendali Industri Penerbangan Terancam Bangkrut

Rabu, 23/12/2009 08:54 WIB
Global Warming Tak Terkendali Industri Penerbangan Terancam Bangkrut
Ardhesa Fikriana Suhilman - suaraPembaca



Jakarta - Pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata udara dekat permukaan bumi dan samudra sejak pertengahan abad ke-20 dan diproyeksikan kelanjutan. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 - 0.18 C (1.33 - 0.32 F) selama seratus tahun terakhir.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik. Termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Global warming dapat sangat berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Tidak terlepas juga industri penerbangan. Beberapa dampak global warming yang sering kita dengar adalah naiknya permukaan air laut. Hal ini disebabkan oleh temperatur bumi yang terus meningkat sehingga hal ini menjadikan bongkahan gunung es yang ada di kutub utara dan kutub selatan menjadi mencair dan akhirnya permukaan air laut naik.

Lalu hubungannya dengan industri penerbangan. Khususnya di Indonesia adalah banyaknya bandara-bandara internasional yang berada di dekat pantai. Contohnya adalah Bandara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng dan Bandara Internasional Minangkabau Padang Sumatera Barat. Dengan naiknya permukaan air laut bandara-bandara ini terancam kebanjiran dan ditutup. Sebagaimana terjadi pada Bandara Internasional Soekarno Hatta beberapa tahun lalu.

Ditutupnya bandara pasti akan sangat merugikan maskapai penerbangan yang biasa melayani rute dari atau ke bandara tersebut. Kerugian yang diderita oleh maskapai penerbangan berakibat maskapai penerbangan tidak mampu untuk terus merawat pesawat apa lagi membeli pesawat baru. Dan, ketidakmampuan maskapai untuk membeli dan merawat pesawat pasti akan sangat berampak pada industri pembuatan pesawat itu sendiri. Bahkan, tidak mungkin industri pembuatan pesawat itu akan tutup.

Selain peningkatan air laut efek dari pemanasan global adalah perubahan iklim yang tidak menentu. Hal ini terjadi karena temperatur permukaan bumi meningkat di semua tempat. Radiasi panas yang berasal dari matahari yang seharusnya sebagian besar dipantulkan kembali ke angkasa dan tertahan di atmosfer. Hal ini berakibat pergerakan udara dan tidak menentu. Akhirnya perubahan iklim yang tidak menentu.

Hubungan iklim yang tidak menentu dengan dunia penerbangan sangat jelas dapat dirasakan. Terutama oleh orang yang sering bepergian dengan pesawat terbang. Iklim yang tidak menentu dapat mengakibatkan terjadi hujan yang sangat lebat tanpa bisa diprediksi. Bahkan, mungkin hujan salju mau pun hujan es, munculnya badai dan tornado, yang tentunya hal ini akan membuat maskapai penerbangan menunda jadwal keberangkatan pesawat.

Jika hal ini terjadi akan banyak orang yang memilih moda transportasi lain. Atau bahkan malas untuk melakukan bepergian. Hal ini tentunya akan menurunkan jumlah penumpang pesawat terbang yang berakibat pada meruginya maskapai penerbangan. Dan, akhirnya dengan meruginya maskapai penerbangan maka industri pesawat terbang akan terancam kembali.

Iklim yang tidak menentu tidak hanya berakibat pada iklim atau cuaca itu sendiri. Tapi, juga bisa mengakibatkan munculnya penyakit baru. Fenomena yang pernah menggemparkan dunia beberapa tahun lalu dengan penyakit SARS, flu burung, dan flu babi.

Fenomena ini sempat mengguncang dunia penerbangan karena banyak negara yang mengeluarkan travel warning bagi penduduknya agar tidak melakukan perjalanan ke luar negeri. Dan, sekali lagi perusahaan maskapai penerbangan akan kehilangan penumpang dan akhirnya merugi.

Itulah dampak buruk global warming bagi dunia penerbangan. Jadi tidaklah berlebihan bila global warming dapat menjadi penyebab dari hancurnya sebuah industri penerbangan. Memang perlu diakui juga dunia penerbangan pun menjadi salah satu penyebab dari global warming itu sendiri. Dengan menyumbangkan 2% polusi CO2 di udara yang tentunya kan sangat merusak atmosfer.

Maka dari itu dunia penerbangan pun harus mampu untuk ikut bersama menyelesaikan permasalah kita bersama, global warming. Banyak hal yang dapat dunia penerbangan lakukan. Mengurangi emisi dari pesawat terbang. Melakukan penanaman pohon yang dilakukan oleh industri-industri penerbangan. Baik maskapai, MRO, maupun produsen pesawat terbang hingga riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang aeronotik untuk mengatasai masalah pemanasan global ini.

Ardhesa Fikriana Suhilman
Jln Cisitu Lama VIII No 12 Bandung
ardhesa_suhilman@yahoo.com
087871982670

Penulis adalah mahasiswa Program Studi Aeronitika dan Astronotika ITB
Kepala Sektor Eksternal GAMAIS ITB


(msh/msh)

Kamis, 24 September 2009

New 'flavour' of El Nino

New 'flavour' of El Nino under global warming

SMC Alert
24/09/09

IMMEDIATE RELEASE
Science Media Centre

El Niño 'Modoki' - a new kind of El Niño will increase with global warming

Research published today in Nature has identified a new type of El Niño climate anomaly that is occurring with more and more frequency as a consequence of human-induced global warming.

In the classic El Niño pattern, weak trade winds lead to unusually warm surface sea temperatures in the tropical eastern Pacific. In the altered El Niño, a region of warm ocean in the central Pacific is flanked on the east and west by unusually cool waters. This new pattern has been dubbed El Nino 'Modoki' -- a Japanese word meaning 'similar, but different'.

The researchers, led by Sang-Wook Yeh of the Korea Ocean Research & Development Institute conclude that the new type of El Niño will happen five times more often by the end of this century. They expect it to cause major shifts in global climate patterns, including more effective forcing of droughts in Australia and India.

We asked scientists to comment on the significance of this news for New Zealand and our global understanding of climate trends.

Dr Brett Mullan, Manager of the Climate Variability Group at NIWA comments:

"There is an ongoing debate in the scientific literature about whether global warming will lead to more "El Nino-like" circulation changes in the Pacific or not. However, when assessing impacts it is even more important to recognise that not all El Ninos are the same and can produce different climatic responses in countries around the Pacific rim such as New Zealand. The Yeh et al paper (Nature, 2009) essentially addresses this second aspect and provides evidence that El Nino "Modoki" events will become more common in future.

"The word "Modoki" is a Japanese term to describe something that is "similar but different", and was first introduced to explain the unusual climate anomalies experienced in Japan in the 2004 El Nino, but the term has only became widely known internationally since 2007. A Modoki El Nino has the maximum sea surface warming in the central equatorial Pacific as opposed to the eastern Pacific (the "classical" El Nino). Modoki El Ninos have become more common since 1990, and other recent research suggests the associated rainfall and temperature anomalies are slightly different for Australia and New Zealand than for the classical eastern Pacific El Nino.

"So this new study suggests useful avenues of research on future New Zealand climate variability. For example, we know that El Ninos substantially reduce the likelihood of a tropical cyclone affecting New Zealand as it exits the tropics into mid-latitudes. But we don't know how Modoki El Ninos differ from classical El Ninos in this regard."

Dr James Renwick, Principal Scientist, Climate Variability & Change, NIWA comments:

"The paper by Yeh et al provides some very interesting dynamical insights into the changing nature of the El Nino cycle under climate change, showing how weakening trade winds combined with changes in the temperature structure of the Equatorial Pacific Ocean could lead to El Nino events preferentially being centred farther west.

"It is a welcome addition to the literature, as there has been much uncertainty about the future of El Nino as the background climate changes. El Nino plays such an important role in modulating year-to-year climate variations in different regions (such as New Zealand), it is vitally important to understand how the El Nino cycle will change in the future."

http://www.scoop.co.nz/stories/SC0909/S00049.htm

Minggu, 23 Agustus 2009

Rumah dan Mimpi Pengurangan Emisi

Rumah dan Mimpi Pengurangan Emisi
Klerestori dilihat dari dalam (dekat pintu menuju balkon lantai 2). Klerestori ini, selain membuat sejuk juga memasukan sinar matahari pagi sampai kira-kira pukul 09.00 WIB.

    JUMAT, 31 JULI 2009 | 11:37 WIB

    Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI

    Dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar menyongsong bencana iklim yang (seharusnya) menjadi momok. Jika suhu bumi naik hingga dua derajat, yang diperkirakan akan tercapai pada abad ini, dan jika kita tidak berbuat apa-apa sekarang, maka Planet Bumi akan menuai bencana: mulai dari badai yang semakin sering, iklim yang tak lagi terprediksi, kekeringan, hingga banjir dengan skala masif.

    Bencana tak langsung adalah kelaparan, kekurangan suplai air bersih, serta penyebaran penyakit tropis yang lebih luas. Masalahnya, bumi dan lingkungan yang melingkupinya bersifat tetap, sementara manusia yang menghuni di atasnya terus berkembang. Perkembangan itu menuntut pembangunan.

    Daerah urban merupakan kawasan dengan laju pembangunan amat pesat. Berdasarkan proyeksi Divisi Kependudukan PBB, penduduk kawasan urban pada kurun waktu 2000-2030 akan bertambah rata-rata 1,8 persen per tahun, dua kali lipat tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk dunia seluruhnya. Dengan kecepatan seperti ini, dalam waktu 38 tahun ke depan jumlah penduduk kota akan berlipat dua. (Bayangkan Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 20 juta!)

    Penduduk urban adalah konsumen segala macam sumber daya termasuk energi yang amat rakus. ”Ketika emisi karbon dioksida dari kota amat tinggi dibandingkan daerah pedesaan, sebenarnya penduduk kota pulalah pemegang kunci dari pengurangan emisi karbon. Ketika diturunkan menjadi sel-sel yang lebih kecil, rumah memegang kunci pengurangan emisi karbon,” demikian antara lain disampaikan konsultan senior Rockwool, Thomas Nordli, saat menerima sejumlah wartawan Indonesia di Kopenhagen, Denmark, awal Juni lalu.

    Tantangan itu terletak pada bagaimana mengurangi emisi karbon di kota, sekaligus tetap bertumbuh sebagai kota yang kompetitif dan menarik untuk kegiatan ekonomi. Jawabannya ada pada paradigma pembangunan kota berkelanjutan, setidaknya berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.

    Ketika emisi karbon tinggi, perubahan iklim yang terjadi akan memunculkan dampak ikutan berupa kemiskinan, ketidakadilan, yang bermuara pada menurunnya kualitas manusia. Untuk pengembangan kota, bukan hanya para arsitek, ahli tata ruang, dan ahli perkotaan yang perlu dilibatkan, para ahli geografi, antropologi, budayawan, dan kesehatan pun perlu dilibatkan, mengingat pembahasan akan menyentuh area-area kesehatan penduduk, perilaku penduduk, dan aset lingkungan.

    Insulasi

    Salah satu cara menghemat energi dalam sistem bangunan rumah adalah pemasangan insulasi. Nordli dari perusahaan insulator Rockwool menggarisbawahi, bangunan di negara-negara Uni Eropa merupakan emiter terbesar karbon, hingga mencapai 41 persen. Sebesar 33 persen digunakan untuk transportasi dan sisanya, 26 persen, untuk kebutuhan operasional industri.

    ”Dua pertiga dari konsumsi energi pada bangunan digunakan untuk melakukan pemanasan dan pendinginan,” ujarnya. Di negara empat musim, pemanas berperan besar untuk kenyamanan dalam bangunan. Sementara di negara tropis, pendingin amat didambakan.

    Untuk mendapatkan kenyamanan tersebut, ada dua cara. Pertama, membangun pembangkit listrik atau pemanas. Kedua, menghemat penggunaan energi.

    Nordli mengungkapkan hasil risetnya bahwa untuk mendapatkan listrik, butuh dana 3,9 sen euro per kWh per meter persegi, sementara hanya butuh 2,6 sen euro untuk mendapat kenyamanan yang setara jika dilakukan penghematan energi. Cara kedua inilah yang ditawarkan oleh sistem insulasi.

    Prinsip kerja sistem insulasi adalah bersifat sebagai isolator, mampu menahan temperatur. Sebuah rumah dengan sistem insulasi akan mampu menahan panas yang ada di dalam rumah agar tidak lepas ke luar rumah.

    Di sisi lain, insulator juga menahan hawa dingin dari luar rumah. Dengan demikian, kebutuhan akan pemanas dengan energi listrik atau gas akan sangat berkurang.

    ”Itu berarti kita telah mengurangi konsumsi energi kita sehingga emisi yang keluar dari rumah kita pun turun,” ujar Nordli.

    Insulasi bukan lagi barang aneh di Denmark. Sekitar tiga tahun lalu muncul peraturan yang menetapkan standar rumah yang, antara lain, bertujuan mengurangi emisi dari bangunan rumah, sebuah rumah yang lebih ramah lingkungan (rumah hijau).

    Menurut Charlotte Hjelm, yang membangun rumahnya sekitar dua tahun lalu, dengan memasang insulasi, dia dapat menghemat penggunaan energi hingga 25 persen. Penghematan itu bisa mencapai sekitar 1.000 krone Denmark per bulan.

    Dengan kemampuan bertahan selama 50 tahun, sistem insulasi Rockwool yang menempati posisi kedua di dunia dalam pangsa pasar diperhitungkan mampu menghemat 200 juta ton emisi karbon. Insulasi bukan hanya untuk bangunan rumah, tetapi terutama untuk industri dan bangunan-bangunan masif, seperti perkantoran. Sejumlah contoh di negara tetangga di antaranya bangunan Ikea di Singapura dan Malaysia, stasiun kereta api Lok Ma Chau di Hongkong, Bandara Changi di Singapura, National Convention Centre di Vietnam, Low Energy Office (LEO) dari Departemen Energi Malaysia.

    Berpijak pada kemajuan yang dicapai sekarang, muncullah cita- cita besar ke depan, yaitu bagaimana membangun rumah yang sama sekali tidak membutuhkan pasokan energi dari luar. Itu disebut sebagai passive house (rumah pasif). Saat ini Rockwool membangun rumah pasif di kawasan Czech Technical University. Nilai bangunannya 800 euro (sekitar Rp 11,2 juta) per meter persegi.

    Kini negara-negara maju di Uni Eropa berencana menerapkan peraturan passive house pada 2016, sementara Inggris akan memulai pada 2015 dan Jerman serta Belanda pada tahun 2015. Ambisi besar Perancis adalah standar rumah energy plus— rumah yang justru memproduksi energi—yang akan mulai diperkenalkan pada 2020.

    Itulah mimpi besar untuk mengurangi emisi global. Dan, mimpi itu bisa diawali dari mimpi kecil: bagaimana mengoperasikan rumah kita dengan energi yang seefisien mungkin, dengan emisi karbon seminim mungkin. Mimpi selalu diperlukan untuk sebuah perubahan besar.

    http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/31/11375222/rumah.dan.mimpi.pengurangan.emisi