VIVAnews - Sejak pembangkit nuklir Fukushima Daiichi, Jepang, mengalami kerusakan akibat gempa bumi dahsyat pada 11 Maret, sejumlah orang memikirkan bagaimana kelanjutan industri nuklir mendatang.
Pada skala global, beberapa negara termasuk Jerman, Israel, dan Italia mulai mengkhawatirkan keamanan proyek nuklir yang sudah dibangun, maupun yang tengah direncanakan.
Bencana di Fukushima Daiichi telah mendorong banyak negara mengkaji ulang pembangkit listrik tenaga nuklir mereka untuk memastikan kecelakaan serupa tidak akan terjadi lagi.
"Opsi (nuklir) akan dikaji ulang hingga kita tahu apa yang terjadi di Jepang," kata Chaim Braun, profesor konsultasi di Pusat Keamanan Internasional dan Kerjasama di Universitas Stanford, seperti dikutip CNN, Senin 28 Maret 2011.
Dia mengatakan, setiap negara harus menyeimbangkan kebutuhan energi dengan ketersediaan sumber daya alam, pertimbangan untuk emisi gas rumah kaca, dan keekonomisan biaya. Termasuk penggunaan energi nuklir bagi negara-negara yang kekurangan sumber daya alam.
Negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam batu bara, minyak, dan gas bumi, seperti Jepang, pembangkit listrik tenaga nuklir adalah pilihan tepat. Meski biaya pembangunan relatif mahal, pembangkit nuklir sangat hemat bahan bakar. "Sulit bagi Jepang meninggalkan pembangkit nuklir," kata Peter Hosemann, asisten profesor teknik nuklir di University of California, Berkeley.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pernah membuat kalkukasi harga listrik dari pembangkit nuklir. Menurut mereka, pengembangan energi nuklir berkapasitas 2 X 1.000 megawatt membutuhkan dana Rp36 - Rp48 triliun. Investasi tersebut dengan asumsi harga pembangkit mencapai US$2.000 - 2.500 perkilowatt electric kWe).
Bila satu unit pembangkit berkapasitas 1.000 megawatt setara dengan satu juta kWe, harga jual listrik dari pembangkit nuklir sekitar 6-7 sen (Rp540-Rp630) per kilo watt hour (kWh). Lebih murah dari harga jual listrik dari pembangkit panas bumi yang kini dipatok 9,7 sen (Rp870) per kWh.
Jepang mengelola 54 reaktor nuklir dan mencukupi 27 persen kebutuhan listrik mereka. Sedangkan AS mengoperasikan 104 reaktor nuklir yang bisa mencukupi 20 persen kebutuhan listrik negeri Paman Sam.
Selain dua itu, tenaga nuklir telah digunakan di sejumlah negara, seperti Prancis dengan prosentase 76 persen, Belgia 56 persen, Hungaria 43 persen, Swiss 40 persen, Swedia 39 persen, Republik Ceko 34 persen, Finlandia 33 persen, Korea Selatan 32 persen, Jerman 23 persen, Inggris 19 persen, Spanyol 18 persen, dan Kanada 14 persen. Jumlah ini berdasarkan data statistik BP 2009.
Bila termasuk murah, mengapa tidak semua menggunakan nuklir? "Ini bukan karena masalah keamanan, melainkan karena pentingnya keanekaragaman energi," kata Najmedin Meshkati, pakar keselamatan nuklir di University of Southern California.
"Sama seperti Anda yang tidak menginvestasikan semua uang ke satu saham. Adalah bijaksana bagi suatu negara memiliki portofolio sumber energi beragam untuk memastikan cakupan konstan," katanya.
Ramah lingkungan
Menurut Badan Energi Atom Internasional, nuklir dan sumber-sumber tenaga air memiliki 50 - 100 kali emisi gas rumah kaca lebih rendah daripada batu bara.
"Tetapi analisis menunjukkan, ramah lingkungan energi nuklir tidak memperhitungkan emisi pertambangan dan pengangkutan bahan bakar nuklir," kata Mark Jacobson dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan di Stanford University.
Dalam pandangannya, kombinasi sumber-sumber terbarukan, seperti tenaga angin dan tenaga pasang surut laut sangat aman. Sayangnya, energi terbarukan sulit menghasilkan daya secara berkelanjutan.
Energi matahari dan energi angin, di sisi lain, bergantung pada fenomena alam yang tidak tersedia sepanjang waktu. Matahari tidak selalu panas sepanjang waktu dan angin juga tidak berhembus kencang selamanya.
Namun, pembangkit listrik tenaga nuklir memberikan keuntungan tenaga besar dan bisa bisa konstan dalam jangka waktu yang lama. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar