Otak Dicangkok Komputer, Etis atau Tidak
Jelas, teknik ini membuat batas antara manusia dan mesin menjadi kabur.
VIVAnews - Sekelompok ilmuwan di Inggris mengajukan debat etika mengenai teknologi baru yang memasangkan teknologi komputer ke otak sehingga menghasilkan manusia super, yang memiliki konsentrasi tinggi atau bisa mengendalikan senjata dengan pikiran.
Jelas, teknik ini membuat batas antara manusia dan mesin menjadi kabur.
Ilmuwan yang tergabung dalam Dewan Nuffield untuk Bioetika ini meluncurkan debat ini pada Kamis 1 Maret 2012.
"Mengintervensi otak selalu meningkatkan harapan dan ketakutan sama banyaknya. Berharap bisa menyembuhkan penyakit berbahaya dan ketakutan akan konsekuensi meningkatkan kapabilitas manusia melampaui normal," kata Thomas Baldwin, profesor filsafat dari Universitas York, Inggris, yang memimpin studi ini.
"Harapan dan ketakutan ini menantang kita berpikir hati-hati mengenai pertanyaan mendasar terkait otak: Apa yang membuat kita manusia? Apa yang membuat kita sebagai seorang individu? Dan bagaimana serta mengapa kita berpikir dan bertindak?"
Dewan independen yang didirikan untuk membahas isu etika ini ingin berfokus pada tiga areal utama neuroteknologi yang mengubah otak: brain-computer interfaces (BCIs), teknik stimulasi syarah seperti stimulasi otak dalam (DBS) dan terapi cangkok sel syaraf.
Teknologi-teknologi ini, seperti dilansir Reuters, sudah mencapai beragam tahap pengembangan untuk keperluan pengobatan penyakit Parkinson, depresi dan strok. Para ahli berharap, ada pengembangan baru untuk pasien dengan kerusakan otak berat.
Namun bagian menakutkan dari teknologi ini berkembang di luar bidang kesehatan. Di militer, penerapan antarmuka otak-komputer bisa digunakan untuk pengembangan senjata yang bisa dikendalikan dengan sinyal otak. Di industri game, teknologi antarmuka ini juga menjadi riset penting.
"Jika antarmuka otak-komputer digunakan untuk mengendalikan pesawat militer atau senjata dari jauh, siapa yang mengambil tanggung jawab atas tindakan itu? Bukankah ini mengaburkan batas antara manusia dan mesin," kata Baldwin.
Konsultasi soal etika ini dibuka sampai 23 April ini. Tahun depan, Dewan Etika ini berharap bisa melahirkan rekomendasi. (umi)
• VIVAnewsIlmuwan yang tergabung dalam Dewan Nuffield untuk Bioetika ini meluncurkan debat ini pada Kamis 1 Maret 2012.
"Mengintervensi otak selalu meningkatkan harapan dan ketakutan sama banyaknya. Berharap bisa menyembuhkan penyakit berbahaya dan ketakutan akan konsekuensi meningkatkan kapabilitas manusia melampaui normal," kata Thomas Baldwin, profesor filsafat dari Universitas York, Inggris, yang memimpin studi ini.
"Harapan dan ketakutan ini menantang kita berpikir hati-hati mengenai pertanyaan mendasar terkait otak: Apa yang membuat kita manusia? Apa yang membuat kita sebagai seorang individu? Dan bagaimana serta mengapa kita berpikir dan bertindak?"
Dewan independen yang didirikan untuk membahas isu etika ini ingin berfokus pada tiga areal utama neuroteknologi yang mengubah otak: brain-computer interfaces (BCIs), teknik stimulasi syarah seperti stimulasi otak dalam (DBS) dan terapi cangkok sel syaraf.
Teknologi-teknologi ini, seperti dilansir Reuters, sudah mencapai beragam tahap pengembangan untuk keperluan pengobatan penyakit Parkinson, depresi dan strok. Para ahli berharap, ada pengembangan baru untuk pasien dengan kerusakan otak berat.
Namun bagian menakutkan dari teknologi ini berkembang di luar bidang kesehatan. Di militer, penerapan antarmuka otak-komputer bisa digunakan untuk pengembangan senjata yang bisa dikendalikan dengan sinyal otak. Di industri game, teknologi antarmuka ini juga menjadi riset penting.
"Jika antarmuka otak-komputer digunakan untuk mengendalikan pesawat militer atau senjata dari jauh, siapa yang mengambil tanggung jawab atas tindakan itu? Bukankah ini mengaburkan batas antara manusia dan mesin," kata Baldwin.
Konsultasi soal etika ini dibuka sampai 23 April ini. Tahun depan, Dewan Etika ini berharap bisa melahirkan rekomendasi. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar