Keanehan di Langit Jepang Jelang Gempa Besar
Atmosfer di atas wilayah episentrum mengalami perubahan tak biasa.
VIVAnews - Jumat siang, 11 Maret 2011, gempa dahsyat dengan kekuatan 8,8 skala Richter mengguncang Jepang. Lindu memicu tsunami yang menggulung bangunan, manusia, apapun yang ada di wilayah pesisir timur laut. Jepang, yang tersohor sebagai negara paling siap menghadapi bencana gempa, porak poranda.
Namun, sejatinya alam sudah memberi peringatan. Apakah itu? Menurut profesor ilmu bumi di Chapman University di California, Dimitar Ouzounov, atmosfer di atas episentrum gempa Jepang mengalami perubahan tak biasa -- dalam beberapa hari menjelang bencana.
Penelitian ini masih data awal, belum dipublikasikan di jurnal akademis dan direview oleh ilmuwan lain, namun menawarkan sesuatu yang menarik, bahwa mungkin gempa bisa diprediksi. "Meski, potensi ilmuwan memperkirakan terjadinya gempa masih 'jauh'," kata Ouzounov seperti dimuat LiveScience, Kamis 19 Mei 2011.
Menatap langit untuk melihat pertanda bencana, khususnya gempa, sebenarnya bukan ide baru. Ada teori yang dikenal sebagai "Lithosphere-Atmosphere-Ionosphere Coupling mechanism" atau "Mekanisme kaitan Litosfer-Atmosfer-Ionosfer".
Seperti ini penjelasannya: sebelum gempa bumi terjadi, patahan yang tertekan akan mengeluarkan lebih banyak gas, khususnya gas radon yang tidak berwarna dan tak berbau.
Setelah berada di ionosfer, gas radon melepaskan molekul udara elektronnya, memisahkan partikel bermuatan negatif (elektron bebas) dan partikel bermuatan positif. Partikel-partikel bermuatan yang juga disebut ion, lantas menarik air dalam proses melepaskan panas. Dan, para ilmuwan bisa mendeteksi panas ini dalam bentuk radiasi inframerah.
Menggunakan data satelit, Ouzounov dan para koleganya mengawasi perubahan atmosfer yang terjadi beberapa hari sebelum gempa Jepang. Mereka menemukan, konsentrasi elektron dalam ionosfer meningkat, demikian juga dengan radiasi inframerah. Pada 8 Maret 2011, tiga hari sebelum gempa, adalah saat yang paling anomali.
Para peneliti juga telah mengumpulkan data lebih dari 100 gempa di Asia dan Taiwan. Menurut Ouzounov, mereka menemukan korelasi yang sama untuk gempa yang magnitudenya lebih besar dari 5,5 skala Richter dengan kedalaman kurang dari 50 kilometer. Tim saat ini sedang berusaha melibatkan para ahli gempa Jepang dan seluruh dunia dalam sebuah misi ambisius: pemantauan atmosfer internasional sebagai upaya mitigasi gempa.
Meski demikian, kesuksesan ramalan gempa masih belum terjamin. Belum ada satu pun orang yang memprediksi gempa berdasar data atmosfer. Terkadang pertanda gempa bisa dilihat dari tingkah aneh binatang atau air tanah yang berubah aliran.
Apakah ada peluang gempa bisa diprediksi lewat data atmosfer? "Ini sangat menarik," kata Henry Pollack, profesor emeritus geofisika di University of Michigan, yang tak terlibat dalam penelitian ini. "Namun masih sulit untuk disebut sebagai sebuah terobosan."
Menruut Pollack, peneliti harus melihat banyak data atmosfer terkait gempa yang ada untuk memastikan fenomena menyangkut pecahnya patahan gempa. Juga harus ditelaah, seberapa sering anomali muncul, namun tak terkait sama sekali dengan gempa.
Sementara, Terry Tullis, profesor emeritus ilmu geologi di Brown University juga sama ragunya. Para ilmuwan ahli gempa telah banyak belajar di masa lalu, untuk tidak merasa senang setiap kali muncul metode prediksi gempa. "Saya tak bermaksud menyingkirkan optimisme itu, tapi dalam titik ini, orang harus skeptis." (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar