Hutan di Atap Mestinya Jadi Tren
Oleh Abun Sanda
Oleh Abun Sanda
Ilustrasi hutan atap
Artikel Terkait:
Jumat, 3 Juli 2009 16:42 WIB
KOMPAS.com -Ada hal menarik dari hutan beton di Hongkong SAR, lima tahun belakangan ini. Bangunan-bangunan baru dan lama seakan berlomba memasang pot tanaman di teras clan di atap rumah. Di ruang terbuka, pemerintah Hongkong juga melakukan aktivitas serupa. Lebih banyak pohon yang ditanam, lebih banyak taman yang dirawat dan lebih banyak trotoar yang dilengkapi dengan pot-pot kembang aneka warna.Aksi yang mengundang pujian dari pelbagai kalangan ini mengubah wajah Hongkong yang kering dan sangar menjadi hijau dan lembut. Warga dan pendatang berjalan di pelbagai wilayah kota dengan suasana lebih nyaman.Di daerah tepian kota, terutama di sekitar bandara Chek Lap Kok, di sekitar Lantau, kawasan Disneyland, Louwu dan kawasan lain menuju daratan besar RR China kehijauan itu tampak lebih pekat. Taman-taman tampak ditumbuhi pohon lebat sehingga mirip hutan kota, sebagaimana tampak di Bukit Timah Singapura, hampir seluruh bagian Washington DC, Kopenhagen, Kyoto, Kota Bogor dan di beberapa kawasan di DKI Jakarta.Hal yang menggugah perhatian adalah kesungguhan warga bekas koloni Inggris itu untuk menanam pohon. Itu tampak kalau kita berada di gedung-gedung pencakar langit Hongkong. Banyak ditemukan apartemen delapan sampai 20 lantai yang berusaha menanam banyak pohon di atap, langkan, jendela, hingga ke reiling apartemen. Kota dengan luas daratan lebih kurang 1.080 kilometer persegi dan penduduk 8,7 juta jiwa ini memang terasa sesak. Areal terbuka hijau di bawah 13 persen, padahal idealnya kota bisnis memiliki ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari total luas areal kota. Akan tetapi yang kita hargai adalah usaha mereka untuk sebisa mungkin menanam pohon.Indonesia, terutama beberapa tahun terakhir serius menanam pohon. Muncul program sejuta pohon, dua juta pohon, satu keluarga satu pohon, lalu satu jiwa satu pohon. Kalau program terakhir ini berjalan efektif, maka Indonesia akan menanam pohon setara jumlah penduduk, yakni 240 juta pohon. Akan tetapi sayang, gerakan menanam pohon itu belum sepenuhnya sukses, sehingga gerakan itu terkesan lebih bersifat jargon pejabat departemen. Belum tampak satu gerakan massal yang seirama. Belum tampak pula ada ajakan serius kepada semua lapisan masyarakat untuk menanam pohon sebanyak mungkin. Masyarakat pun belum sepenuh hati menjadi pencinta lingkungan. Lihatlah, hampir semua ruko yang dibangun, tanpa pohon sama sekali. Halaman dibiarkan gundul, sehingga ada kesan mempercepat proses penggurunan.Ironinya, ini semua berlangsung damai dan tenteram. Tidak terdengar protes masyarakat. Tidak tampak gerakan memprotes pelenyapan pohon, termasuk dari lembaga-lembaga yang menamakan dirinya LSM lingkungan. Adapun hutan tropis terus dianiaya dan dimusnahkan. Kalau tiga puluh tahun silam luas hutan masih 130 juta hektar, kini hanya tersisa 92 juta hektar. Artinya selama tiga dasa warsa, Indonesia kehilangan 38 juta hektar pohon. Masihkah kita, manusia yang serakah ini, terus berlomba membinasakan hutan? Apakah bayangan kengerian hebat oleh akibat-akibat global warming tidak mempan mereduksi keserakahan manusia? Musim saja sudah berubah-ubah tidak karuan, banjir makin kerap terjadi clan suhu cenderung terus naik, mengapa kita belum sadar juga?Mestinya pemerintah, terutama departemen kehutanan, departemen pertanian, kementerian lingkungan hidup, departemen perindustrian clan departemen perdagangan memerhatikan masalah ini secara serius. Departemen kehutanan misainya membatasi secara signifikan izin penebangan hutan dan meniadakan pembalakan liar. Departemen pertanian menerapkan sistem bercocok tanam yang lebih produktif dan sebagainya.Para pengembang pun tidak boleh berpangku tangan atas masalah ini. Pengembang mesti ikut aktif berkampanye menjaga kualitas lingkungan hidup. Caranya, mengurangi penggunaan bahan-bahan dari hutan dan tanaman, membangun perumahan yang menggunakan lahan secara efisien, membangun lebih banyak rumah susun dan apartemen yang nota bene jauh lebih hemat lahan. Masyarakat pun mesti rela hidup di apartemen atau rumah susun. Sudah saatnya kita hidup bersama di lahan terbatas, demi menjaga kualitas lingkungan hidup.Aspek lain yang kiranya patut mendapat perhatian ialah pengembang dan masyarakat sebisa mungkin menanam sebanyak mungkin tanaman di halaman, termasuk di teras rumah, tirai, reiling dan bahkan atap. Sejumlah gedung tinggi di Jakarta sudah melakukan ini dengan sangat konsisten. Seyogyanya ada semacam pujian atau reward atas komitmen amat tinggi ini.Sejumlah mal, mulai melakukan, tetapi masih lebih banyak yang enggan. Plaza Senayan misainya, menanam sangat banyak pohon di halaman depan, belakang, samping, dan bahkan di lapangan parkir. Taman yang dibangun tampak elok. Akan tetapi manajemen plaza ini belum menanam pohon di atap plaza. Atapnya memang bersih, tetapi tampak kering kerontang. Semestinya sebagai salah satu pusat perbelanjaan elite di Ibu Kota, Plaza Senayan menanam pohon di atap, agar ia tidak saja menjadi tren pusat belanja tetapi juga tren di bidang lingkungan hidup.Hutan di atap mestinya menjadi tren. Kalau Jakarta berhasil melakukannya, ia menjadi satu dari tidak banyak kota besar dunia yang berkomitmen melakukannya. Sudah saatnya Jakarta menjadi percakapan dunia untuk hal-hal yang positif, seperti lingkungan hidup.
Artikel Terkait:
Jumat, 3 Juli 2009 16:42 WIB
KOMPAS.com -Ada hal menarik dari hutan beton di Hongkong SAR, lima tahun belakangan ini. Bangunan-bangunan baru dan lama seakan berlomba memasang pot tanaman di teras clan di atap rumah. Di ruang terbuka, pemerintah Hongkong juga melakukan aktivitas serupa. Lebih banyak pohon yang ditanam, lebih banyak taman yang dirawat dan lebih banyak trotoar yang dilengkapi dengan pot-pot kembang aneka warna.Aksi yang mengundang pujian dari pelbagai kalangan ini mengubah wajah Hongkong yang kering dan sangar menjadi hijau dan lembut. Warga dan pendatang berjalan di pelbagai wilayah kota dengan suasana lebih nyaman.Di daerah tepian kota, terutama di sekitar bandara Chek Lap Kok, di sekitar Lantau, kawasan Disneyland, Louwu dan kawasan lain menuju daratan besar RR China kehijauan itu tampak lebih pekat. Taman-taman tampak ditumbuhi pohon lebat sehingga mirip hutan kota, sebagaimana tampak di Bukit Timah Singapura, hampir seluruh bagian Washington DC, Kopenhagen, Kyoto, Kota Bogor dan di beberapa kawasan di DKI Jakarta.Hal yang menggugah perhatian adalah kesungguhan warga bekas koloni Inggris itu untuk menanam pohon. Itu tampak kalau kita berada di gedung-gedung pencakar langit Hongkong. Banyak ditemukan apartemen delapan sampai 20 lantai yang berusaha menanam banyak pohon di atap, langkan, jendela, hingga ke reiling apartemen. Kota dengan luas daratan lebih kurang 1.080 kilometer persegi dan penduduk 8,7 juta jiwa ini memang terasa sesak. Areal terbuka hijau di bawah 13 persen, padahal idealnya kota bisnis memiliki ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari total luas areal kota. Akan tetapi yang kita hargai adalah usaha mereka untuk sebisa mungkin menanam pohon.Indonesia, terutama beberapa tahun terakhir serius menanam pohon. Muncul program sejuta pohon, dua juta pohon, satu keluarga satu pohon, lalu satu jiwa satu pohon. Kalau program terakhir ini berjalan efektif, maka Indonesia akan menanam pohon setara jumlah penduduk, yakni 240 juta pohon. Akan tetapi sayang, gerakan menanam pohon itu belum sepenuhnya sukses, sehingga gerakan itu terkesan lebih bersifat jargon pejabat departemen. Belum tampak satu gerakan massal yang seirama. Belum tampak pula ada ajakan serius kepada semua lapisan masyarakat untuk menanam pohon sebanyak mungkin. Masyarakat pun belum sepenuh hati menjadi pencinta lingkungan. Lihatlah, hampir semua ruko yang dibangun, tanpa pohon sama sekali. Halaman dibiarkan gundul, sehingga ada kesan mempercepat proses penggurunan.Ironinya, ini semua berlangsung damai dan tenteram. Tidak terdengar protes masyarakat. Tidak tampak gerakan memprotes pelenyapan pohon, termasuk dari lembaga-lembaga yang menamakan dirinya LSM lingkungan. Adapun hutan tropis terus dianiaya dan dimusnahkan. Kalau tiga puluh tahun silam luas hutan masih 130 juta hektar, kini hanya tersisa 92 juta hektar. Artinya selama tiga dasa warsa, Indonesia kehilangan 38 juta hektar pohon. Masihkah kita, manusia yang serakah ini, terus berlomba membinasakan hutan? Apakah bayangan kengerian hebat oleh akibat-akibat global warming tidak mempan mereduksi keserakahan manusia? Musim saja sudah berubah-ubah tidak karuan, banjir makin kerap terjadi clan suhu cenderung terus naik, mengapa kita belum sadar juga?Mestinya pemerintah, terutama departemen kehutanan, departemen pertanian, kementerian lingkungan hidup, departemen perindustrian clan departemen perdagangan memerhatikan masalah ini secara serius. Departemen kehutanan misainya membatasi secara signifikan izin penebangan hutan dan meniadakan pembalakan liar. Departemen pertanian menerapkan sistem bercocok tanam yang lebih produktif dan sebagainya.Para pengembang pun tidak boleh berpangku tangan atas masalah ini. Pengembang mesti ikut aktif berkampanye menjaga kualitas lingkungan hidup. Caranya, mengurangi penggunaan bahan-bahan dari hutan dan tanaman, membangun perumahan yang menggunakan lahan secara efisien, membangun lebih banyak rumah susun dan apartemen yang nota bene jauh lebih hemat lahan. Masyarakat pun mesti rela hidup di apartemen atau rumah susun. Sudah saatnya kita hidup bersama di lahan terbatas, demi menjaga kualitas lingkungan hidup.Aspek lain yang kiranya patut mendapat perhatian ialah pengembang dan masyarakat sebisa mungkin menanam sebanyak mungkin tanaman di halaman, termasuk di teras rumah, tirai, reiling dan bahkan atap. Sejumlah gedung tinggi di Jakarta sudah melakukan ini dengan sangat konsisten. Seyogyanya ada semacam pujian atau reward atas komitmen amat tinggi ini.Sejumlah mal, mulai melakukan, tetapi masih lebih banyak yang enggan. Plaza Senayan misainya, menanam sangat banyak pohon di halaman depan, belakang, samping, dan bahkan di lapangan parkir. Taman yang dibangun tampak elok. Akan tetapi manajemen plaza ini belum menanam pohon di atap plaza. Atapnya memang bersih, tetapi tampak kering kerontang. Semestinya sebagai salah satu pusat perbelanjaan elite di Ibu Kota, Plaza Senayan menanam pohon di atap, agar ia tidak saja menjadi tren pusat belanja tetapi juga tren di bidang lingkungan hidup.Hutan di atap mestinya menjadi tren. Kalau Jakarta berhasil melakukannya, ia menjadi satu dari tidak banyak kota besar dunia yang berkomitmen melakukannya. Sudah saatnya Jakarta menjadi percakapan dunia untuk hal-hal yang positif, seperti lingkungan hidup.