Jumat, 02 Maret 2012

Otak Dicangkok Komputer, Etis atau Tidak


Otak Dicangkok Komputer, Etis atau Tidak

Jelas, teknik ini membuat batas antara manusia dan mesin menjadi kabur.

JUM'AT, 2 MARET 2012, 06:07 WIB
Arfi Bambani Amri
VIVAnews - Sekelompok ilmuwan di Inggris mengajukan debat etika mengenai teknologi baru yang memasangkan teknologi komputer ke otak sehingga menghasilkan manusia super, yang memiliki konsentrasi tinggi atau bisa mengendalikan senjata dengan pikiran.
Jelas, teknik ini membuat batas antara manusia dan mesin menjadi kabur.

Ilmuwan yang tergabung dalam Dewan Nuffield untuk Bioetika ini meluncurkan debat ini pada Kamis 1 Maret 2012.

"Mengintervensi otak selalu meningkatkan harapan dan ketakutan sama banyaknya. Berharap bisa menyembuhkan penyakit berbahaya dan ketakutan akan konsekuensi meningkatkan kapabilitas manusia melampaui normal," kata Thomas Baldwin, profesor filsafat dari Universitas York, Inggris, yang memimpin studi ini.

"Harapan dan ketakutan ini menantang kita berpikir hati-hati mengenai pertanyaan mendasar terkait otak: Apa yang membuat kita manusia? Apa yang membuat kita sebagai seorang individu? Dan bagaimana serta mengapa kita berpikir dan bertindak?"

Dewan independen yang didirikan untuk membahas isu etika ini ingin berfokus pada tiga areal utama neuroteknologi yang mengubah otak: brain-computer interfaces (BCIs), teknik stimulasi syarah seperti stimulasi otak dalam (DBS) dan terapi cangkok sel syaraf.

Teknologi-teknologi ini, seperti dilansir Reuters, sudah mencapai beragam tahap pengembangan untuk keperluan pengobatan penyakit Parkinson, depresi dan strok. Para ahli berharap, ada pengembangan baru untuk pasien dengan kerusakan otak berat.

Namun bagian menakutkan dari teknologi ini berkembang di luar bidang kesehatan. Di militer, penerapan antarmuka otak-komputer bisa digunakan untuk pengembangan senjata yang bisa dikendalikan dengan sinyal otak. Di industri game, teknologi antarmuka ini juga menjadi riset penting.

"Jika antarmuka otak-komputer digunakan untuk mengendalikan pesawat militer atau senjata dari jauh, siapa yang mengambil tanggung jawab atas tindakan itu? Bukankah ini mengaburkan batas antara manusia dan mesin," kata Baldwin.

Konsultasi soal etika ini dibuka sampai 23 April ini. Tahun depan, Dewan Etika ini berharap bisa melahirkan rekomendasi. (umi)
• VIVAnews

Pohon-pohon Skandinavia selamat dari zaman es akhir


Pohon-pohon Skandinavia selamat dari zaman es akhir

BBCIndonesia.com - detikNews
Sabtu, 03/03/2012 11:10 WIB
Pohon Conifer diyakini spesies pohon peninggalan zaman es yang mampu bertahan.

Sejumlah spesies pepohonan di daratan Skandinavia ternyata mampu bertahan dari terjangan luapan es pada zaman es akhir, ribuan tahun silam.

Temuan baru ini berbeda dengan gagasan yang sudah diterima luas bahwa pohon-pohon tersebut mati dan punah setelah lapisan es tebal menutupi kawasan tersebut sekitar 9,000 tahun lalu

Para peneliti, seperti dimuat dalam Jurnal Ilmiah terbaru, menunjukkan beberapa pohon Jarum (Conifer) yang tumbuh di pegunungan dan pesisir pantai mampu bertahan hidup dari terjangan lapisan es tebal pada zaman es akhir.

"Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa tidak semua pohon Conifer Skandinavia memiliki garis keturunan terakhir yang sama, seperti yang selama ini kita yakini," kata Profesor Eske Willerslev, peneliti dari Pusat GeoGenetics, Universitas Kopenhagen.

"Ada kelompok-kelompok pohon cemara dan pinus yang selamat dari iklim yang keras, karena terlindung dan kemudian tersebar secara meluas ketika zaman es berakhir," jelasnya.

Eske kemudian mencontohkan pohon-pohon tersebut di puncak-puncak nunatak, Antartika, yang dapat bertahan hidup pada zaman es akhir.

"Dan pohon cemara dan pohon pinus yang ada di selatan dan timur Eropa memiliki kaitan dengan asal-usul pepohonan yang selamat dari terjangan lapisan es tebal pada zaman es akhir itu".

Mampu bertahan

Pepohonan inilah, yang menurut temuan terbaru, secara alamiah melahirkan spesies pepohonan Conifer di kawasan Skandinavia.

Kesimpulan para ahli ini didasarkan uji DNA dari pohon cemara modern -- yang secara jelas menggambarkan kehadiran dua jenis pohon di Skandinavia - serta menganalisa contoh komposisi DNA pohon pinus dan cemara purba yang ditemukan pada endapan di sebuah danau.

"Kami berhipotesa bahwa pepohonan yang mampu bertahan pada zaman es akhir yang terletak di ketinggian nunataks, pegunungan atau puncak gunung, atau di daerah yang lebih terlindung di dekat pantai yang iklimnya hangat, "kata peneliti Laura Parducci, dari University of Uppsala.

"Daerah seperti itulah yang telah menyediakan lahan buat akar pepohonan itu hingga mampu bertahan dan tumbuh pada iklim yang menantang."

Saat ini, nunataks masih dapat ditemui di kawasan Greenland yang masih diselimuti es, meskipun tanpa ada pepohonan di tempat itu.

(bbc/bbc)